Header Ads

Breaking News
recent

Generasi Millenial Pinggiran Sungai


Kami adalah generasi yang diramalkan akan menentukan arah bangsa ini. akhir-akhir ini kami disebut dengan generasi millenial ada juga yang menyebut generasi Z, generasi yang lahir di era sembilan puluhan, adalah kami yang menetukan masa depan bangsa ini. Mapankah atau suramkah?
Berbicara tentang kemapanan dan kesuraman masa depan, jika generasi kami disebut-sebut sebagai generasi penentu masa depan bangsa, maka agar tidak menjadi penentu kesuraman masa depan, sudah seharusnya generasi kami melakukan gerakan-gerakan perbaikan untuk masyarakat, minimal dimulai dari diri sendiri dan orang sekitar. Tidak muluk-muluk, bermimpi untuk merubah negeri itu boleh dan sah-sah saja. Namun kita perlu melihat kenyataan bahwa melakukan perubahan besar -- apalagi berkaitan dengan masyarakat yang notabennya sulit untuk digerakkan-- bukanlah hal yang mudah. Jangan sampai mimpi besar kita hanya tinggal di angan-angan saja karena terlalu tinggi untuk dapat dicapai.
Memulai melakukan hal-hal kecil yang bermakna besar adalah satu hal yang sangat mungkin dilakukan (itupun kalau generasi kami sadar). Pepatah bijak berkata bahwa satu aksi nyata lebih berharga daripada seribu rencana. Petuah inilah yang harus dipegang teguh oleh generasi kami, talk less do more, begitu orang Jawa Membahasakannya.. hehe
Generasi muda di desa kami (Desa Kanten Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro) justru kabarnya berdasarkan kabar terkini akan pergi ke tanah rantau. Mereka ingin pergi untuk membela negara (katanya) dengan cara mendaftar menjadi anggota Tentara Negara Indonesia (TNI). Di desa kami, sudah ada sekitar sepuluh pemuda yang pergi untuk “membela negara” di pulau-pulau nan jauh dan hampir tidak pernah lagi kembali ke desa kami. Bagi generasi tua khususnya orang tua yang anaknya menjadi bagian dari anggota TNI adalah sebuah kebanggaan tersendiri ketika anak-anaknya mampu menyandang profesi tentara. Untuk mencapai derajat kebanggaan itu pak tani dan bu tani harus merelakan sawah dan ladangnya terjual, karena mencetak mereka menjadi barang kebanggaan bukanlah hal yang dapat dicapai dengan murah. Puluhan atau bahkan ratusan juta rela disetorkan kepada negara —atau aparatur negara ya?? wkwkwk — untuk menjadikan mereka anak-anak kebanggan.
Di desa lain yang letaknya memang agak jauh dari desa kami, ada sekumpulan pemuda yang secara sadar mendermakan masa mudanya untuk membangun desa. Berbeda dengan pemuda yang lain dimana pada umumnya pada usia-usia tersebut adalah para pemuda sibuk mencari penghidupan, dan mengumpulkan pundi-pundi uang (untuk modal nikah katanya hahaha). Pemuda di Desa Jelu Kecamatan Ngasem ini justru melakukan hal yang amat berbeda. Di tanah rantau mereka menengok desanya kembali, mungkin karena prihatin, atau bisa jadi karena sadar bahwa ia dilahirkan untuk suatu kepentingan pembangunan. Berpikir secara sadar bahwa dia bersama kawan-kawannya lah yang harus membangun desa ini.
Dengan kemampuan seadanya dan tenaga sukarela mereka membangun sebuah gubuk sederhana dan minimalis yang letaknya di pinggiran sungai. Awalnya mereka hanya berharap gubug itu didirikan untuk tempat berkumpulnya para pemuda desa yang peduli akan pentingnya membangun desa dan pentingnya gotong royong. Namun realitasnya, saat ini justru melebihi harapan awal. Mereka yang hanya berharap bisa berkumpul, justru perkumpulan mereka sekarang mampu membuahkan manfaat, tidak hanya bagi mereka tetapi bagi yang lain juga. Mereka sudah melakukan pelajaran-pelajaran tentang bertani, membuat pupuk, dan bahkan saat ini mereka memberikan kursus gratis untuk adik-adik mereka di desa. Kegiatan ini mereka namai dengan Sinau Bareng Pinggir Kali karena gubug yang digunakan untuk belajar terletak di pinggiran sungai. Setiap kamis malam dan minggu pagi, dengan alat seadanya dan dengan sukarela meminjamkan kebutuhan-kebutuhan kursus yang mereka miliki seperti laptop dan komputer. Tidak hanya itu, kesadaran untuk memulihkan budaya berbahasa jawa halus –yang kini mulai hilang—mulai ditumbuhkan melalui pembelajaran-pembelajaran Bahasa Jawa untuk anak-anak. Tujuannya agar budaya menggunakan Bahasa Jawa halus kembali dihidupkan di Desa Jelu ini, khususnya untuk anak-anak berbicara kepada orang tuanya. Penggunaan Bahasa Jawa halus ini adalah bentuk penghormatan seseorang kepada orang lain yang lebih tua.
Di sini,  di tempat inilah akan kalian temukan generasi millenial yang positsif. Generasi yang tidak hanya numpang eksis di dunia maya dengan kicauan-kicauan yang nggak jelas, bukan juga generasi yang menyibukkan diri untuk mempertebal kantong sendiri, mereka adalah generasi berdikari yang siap bersumbangsih untuk perbaikan negeri.

#KidsJamanNow
#GenerasiMilenial
#BinaKaryaJelu
#SinauPinggirKali

#BojonegorokuMatoh

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.