Header Ads

Breaking News
recent

Merapat ke Masyarakat


            Hari ini adalah hari pertamaku bersinggungan langsung dengan warga Desa Kacangan, warga yang akan hidup berdampingan denganku mulai hari ini hingga tiga bulan ke depan. Mengabdikan diri di tempat orang lain memang gampang-gampang susah. Aku menyebutnya tempat lain karena ini bukan Desa tempat dimana aku dibesarkan sejak kepulanganku dari tanah Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk numpang lahir saja di sana. Desa ini bukan desa yang bisa kusebut desaku, tempat yang selalu ingin kutengok dan saksi bisu atas pemanfaatan ilmu seseorang yang katanya sarjana tetapi (belum) membangun desa ini. Aku tidak sedang mengabdikan diriku di desaku, aku justru sedang “belajar mengabdikan” diriku di tempat dimana orang lain tinggal, orang yang tidak pernah kukenal sebelumnya, orang yang juga tadinya tidak pernah ada kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan diriku. Namun sejak hari ini, mereka akan menjadi bagian dari perjalananku, bisa jadi mereka adalah penentu keberhasilan ataupun ketidakberhasilanku dalam memraktekkan ilmu yang kudapatkan di sekolah involvement dua minggu yang lalu.
            Hari ini aku memulainya dengan mengikuti kegiatan jamaah tahlil ibu-ibu mulai dari RT 01 hingga RT 07 (di desa ini ada 10 RT). Ini adalah kebiasaan baru yang harus mulai kubisakan dan kubiasakan. Kegiatan tahlil ini sebenarnya merupakan kegiatan rutinan yang dilakukan setiap hari Jum’at, namun ini adalah hari khusus dimana setiap pukul 13.00 tepat selama tujuh hari jamaah tahlil ini akan terus menerus melakukan tahlil di satu rumah warga yang sedang dalam suasana berkabung. keluarga ini baru saja ditinggalkan oleh satu anggota keluarganya, beliau (Almarhumah) adalah seorang istri dan ibu dari dua anak. Dua anak perempuannya memang sudah menikah dan sudah punya anak, namun bagi orang-orang desa, usia almarhumah belum terbilang tua. Almarhumah meninggal dunia di usia yang masih muda dikarenakan sakit yang warga sendiri tidak tahu jenis sakitnya apa namun mereka menyebutnya “seperti linu-linu pada otot” yang mana sering sekali kambuh.
Yo ijek nom mbak, meninggale ya loro mbuh loro opo jenenge tapi yo koyok linu-linu neng dengkul, kadang waras kadang ya kumat. Lek wes kadung kumat yo abuh kabeh.” Ucap salah satu warga yang duduk di samping kiri saya dengan menggunakan Bahasa Jawa.
Satu kebiasaan unik yang baru saja saya temukan di sini. Bacaan-bacaan do’a, surat yasin serta shalawat dilantunkan terus menerus sejak usai sholat duhur hingga pukul 14.30. Bagiku yang merupakan orang yang sangat baru di sini, ini adalah sesuatu yang aneh dan sedikit melelahkan. Karena membaca terus menerus juga membuat dahaga dan menguras banyak tenaga, namun bagi warga, ini adalah kebiasaan yang sudah biasa dilakukan sehingga tidak menjadi suatu hal yang berat. Setiap ada tetangganya yang meninggal dunia, kegiatan tahlil ini akan terus dilakukan selama tujuh hari.

            Di sisi lain, disadari ataupun tidak oleh warga sendiri bahwa kegiatan tahlil yang dilakukan hingga tujuh hari pasca meninggalnya almarhumah secara mental, mampu meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. Karena dengan datangnya ibu-ibu jamaah tahlil beramai-ramai setidaknya menandakan bahwa setelah ditinggalkan oleh satu orang maka akan datang ribuan orang yang lain. Gugur satu tumbuh seribu, bahwa satu orang yang meninggalkan menjadi sebab kesedihan tetapi ada ribuan orang yang datang menjadi sebab-sebab untuk tidak lagi bersedih. Ini adalah satu tindakan gotong royong yang cukup unik dan begitu kuat mengakar di masyarakat Desa Kacangan. Kebiasaan yang mungkin tidak dapat ditemukan di pulau lain atau bahkan di Jawa Timur yang lain. 

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.