Header Ads

Breaking News
recent

Generasi yang Dicita-citakan Kartini




Aku memang tidak hidup di periode Kartini, tetapi sesaat setelah membaca kembali surat-surat yang ia tulis, perih yang dirasakan Kartini saat itu hari ini aku bisa merasakannya kembali. Saat itu kemerdekaan hidup seorang perempuan seperti memiliki masa tenggang. Mereka bahkan tidak berhak menentukan jalan mana yang harus ia pilih, kemana ia akan pergi dan apa yang akan ia lakukan di masa depan. Sejak menginjak usia remaja, mereka harus dipingit sampai ada laki-laki yang meminangnya. adat-istiadat yang berlaku saat itu benar-benar mengekang perempuan untuk memperoleh hak-hak kemerdekaan yang diperoleh laki-laki. Bahkan bagi kalangan bangsawan sekalipun, menyekolahkan seorang anak perempuan adalah sebuah aib. Barangsiapa yang melakukannya, maka ia akan dicerca, dicaci dan dimaki oleh masyarakat dan terutama kalangan bangsawan lainnya.

Kegelisahan Kartini terhadap adat yang berlaku ia tulis dalam surat-surat yang ia kirimkan kepada Nona Zeehandelaar di Belanda. Dari situlah aku paham betul bahwa perihnya hati Kartini ketika membandingkan kehidupan perempuan di negeri Zeehandelaar dengan yang ada di sekelilingnya. Ia berkeyakinan teguh bahwa akan ada perubahan di masa mendatang. Ia sangat yakin bahwa hak-hak perempuan di masa mendatang akan lebih dihargai dan diperhatikan bahkan ia mendapatkan hak yang sama seperti yang laki-laki dapatkan. Cita-citanya dalam memperjuangkan hak perempuan memang tidak seketika terwujud pada periodenya, tetapi hari ini anak keturunannya merasakan buah dari perjuangannya dulu.

Aku adalah satu dari sekian banyak generasi yang dicita-citakan oleh Kartini. Generasi perempuan yang bebas menentukan pilihan dan masa depan. Aku dan kawan-kawan segenerasiku adalah buah do’a dan usaha yang pernah ditanam oleh Kartini. Hak-hak yang dulu terantai kuat, hari ini kami bisa menikmati hak-hak itu. Bahkan sama sekali tidak sulit bagi kami untuk mendapatkan hak itu. Kami berhak untuk mengenyam pendidikan, menentukan masa depan dan juga menentukan pasangan.

Tetapi melihat sejarah tentang perjuangan Kartini, ada pesan dan kesan sederhana dari Kartini yang hari ini sering dilupakan. Kartini tidak belajar untuk mencerdaskan dirinya sendiri saja, ia juga tidak memperluas jaringan untuk keperluannya secara pribadi, ia juga tidak bersekolah hanya untuk menjadi pekerja dan memiliki pendapatan layaknya yang seorang laki-laki dapatkan. Lebih dari itu, pendidikan yang ia idamkan adalah pendidikan yang mampu memberikan perubahan bagi lingkungan sekitar. Ia dengan segala kemampuannya saat itu, sebisa mungkin menularkan ilmu yang didapatkan kepada perempuan sekitar  yang tidak mungkin bisa pergi ke sekolah. Kartini  dengan segala keterbatasan jaringan yang ia miliki, ia mampu mengangkat ukiran khas Jepara menjadi produk kesenian yang diakui oleh dunia. Kartini tidak belajar untuk menjadi lebih unggul dari suaminya, ia justru menjadi perempuan tangguh menemani suami dan membangun komunikasi dengan baik berkolaborasi membangun sekolah untuk perempuan dan masyarakat miskin.

Aku ingin menanam semangat yang sama seperti yang Kartini tanamkan. Bahwa pendidikan yang kujalani tidak semata-mata untuk menunjang karir. Tetapi untuk lebih memahami bahwa ada banyak hal yang bisa diperbaiki melalui pendidikan. Bahwa karir yang tinggi, jabatan yang bagus serta gaji yang melimpah bukan satu-satunya tujuan bagi perempuan yang  berpendidikan. Mempedulikan anak yang putus sekolah misalnya, memperbaiki sistem pendidikan yang semakin jauh dari perbaikan karakter dan hal-hal lain yang lebih mulia.

3 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.