Header Ads

Breaking News
recent

Menyuarakan Kembali Peran Perempuan dalam Pendidikan

Sumber Foto: https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20160521/indonesia-mengajar-68b89ca15280c76c282c032f4545c46a.jpg


Perempuan dan pendidikan - Bercermin pada kisah ibu kita Kartini, salah satu perempuan yang sempat gelisah terhadap kehidupan para perempuan di negeri ini. Meski tidak mampu melakukan banyak hal, namun kegelisahan-kegelisahan yang ia tuliskan di dalam lembaran-lembaran surat yang kemudian ia kirimkan untuk sahabat-sahabat penanya di Belanda justru menjadi pintu pertama perempuan-perempuan Indonesia untuk mendapatkan kehidupan yang baik dan pendidikan yang layak, sama seperti yang didapatkan oleh kaum laki-laki pada masa itu. 

Kegelisahan Kartini yang pada suatu hari oleh teman-teman penanya dikodifikasikan dalam sebuah buku berbahasa Belanda Door duisternis tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) benar-benar menjadi lentera bagi kaum perempuan pada masa itu. 

Tulisan saya ini mungkin tidak akan memberikan pengetahuan apapun, atau bahkan menambah wawasan bagi para pembaca. Saya justru ingin membagi unek-unek yang sudah sejak lama bersarang di kepala saya. Saya sendiri tidak mengerti betul, bagaimana sekolah-sekolah perempuan itu dahulu didirikan. Saya juga tidak tahu, apa yang sekolah-sekolah tersebut ajarkan kepada perempuan Indonesia. Saya hanya tahu bahwa sekolah perempuan didirikan agar perempuan dan laki-laki mendapatkan hak-hak yang sama sebagai manusia dan juga sebagai warga negara. Sehingga keduanya mendapatkan kesetaraan. 

Jika menengok model pendidikan masa kini yang sudah tidak lagi membedakan pendidikan seperti apa yang akan diberikan kepada laki-laki dan pendidikan macam apa yang seharusnya diberikan kepada perempuan, rasanya tujuan atas kesetaraan itu sudah lama tercapai. 

Namun selain tujuan kesetaraan, ada tujuan lain yang sangat mengakar pada sejarah terbentuknya pergerakan perempuan ini. Tujuan tersebut yakni demi meningkatkan kemampuan dan kecerdasan kaum perempuan sebagai seorang ibu dan pemegang kendali sebuah rumah tangga. Tujuan ini juga harus dicapai agar dididiknya kaum perempuan dapat menghasilkan suatu sistem pendidikan yang berkelanjutan. Artinya, seorang perempuan yang berpendidikan harus menghasilkan anak-anak yang berpendidikan pula. Pendidikan dalam hal ini harus ditempuh secara estafet dimana harus ada pemain yang selalu siap untuk menerima mandat dan melanjutkan misi mendidik sampai sejauh-jauhnya. 

Hari-hari ini (khususnya di desa) jarang sekali saya temukan pendidikan semacam ini. Yang banyak saya temukan adalah perempuan yang disekolahkan hingga tingkat menengah atas atau bahkan perguruan tinggi, selanjutnya akan menjadi seorang perempuan yang sibuk dengan pekerjaannya. Kesibukan yang kerap disebut sebagai karir ini akan tetap ditekuni meski ia dikemudian hari telah menanggung kewajiban ganda, baik sebagai perempuan pekerja, sebagai istri dan juga sebagai ibu. Penitian karir oleh para perempuan ini diiringi dengan misi perbaikan ekonomi, dimana perekonomian keluarga menjadi lebih penting daripada memberikan pendidikan terbaik bagi anak dan juga sebagai pemegang kendali rumah tangga. Anak-anak di desa ditinggal oleh ibu dan ayah mereka merantau di tempat nun jauh dengan dalih demi membahagiakan anak-anak yang mereka tinggalkan di desa (bahagia menurut perspektif ibu-ibu muda ini adalah dengan mencukupi segala kebutuhan fisik yang dibutuhkan oleh anak). Sementara anak-anak (yang katanya bahagia) itu tinggal dan dibesarkan oleh seorang nenek yang bisa jadi tidak mendapat pendidikan sebaik yang anak mereka dapatkan. 

Kalau sudah begini, bagaimana bangsa ini berterimakasih terhadap seorang Kartini serta teman-teman penanya yang mendedikasikan dirinya demi perbaikan hidup perempuan-perempuan bangsa. Bagi saya pribadi, salah satu jalan yang mungkin ditempuh adalah dengan menambahkan pembelajaran tentang hak-hak serta kewajiban perempuan ke dalam kurikulum pendidikan. Agar tongkat estafet pendidikan tidak jatuh di tengah medan pertandingan. Agar bangsa ini menjadi bangsa yang mendidik dan terdidik hingga waktu yang tak terhingga. (*Ana)

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.