Header Ads

Breaking News
recent

Sekolah Tanpa Dinding

Sumber Foto: https://www.merdeka.com/pendidikan/potret-pendidikan-di-pelosok-beratap-langit-berlantai-tanah.html
Sekolah yang hari ini dihuni oleh kebanyakan siswa, bagi saya pribadi sesungguhnya itu bukan tempat untuk anak belajar. Ia juga bukan tempat bagi anak-anak bermain. Bukan juga tempat untuk anak mengembangkan fisik. yang saya tahu hari ini sekolah adalah ruang yang membatasi anak untuk bermain, ruang bagi guru untuk menyuapi ilmu pengetahuan kepada anak, ruang bagi guru untuk memberi instruksi jangan begini, jangan begitu, jangan melakukan ini jangan melakukan itu, dilarang ini dan dilarang itu. Budaya yang diciptakan memang budaya membatasi. Bahwa anak yang akhirnya berkembang dengan amat terbatas itu wajar karena apa yang hari ini dikembangkan adalah budaya membatasi. Dinding sekolah tidak dibangun sebagai sekat pembatas belajar bagi anak. Dinding sekolah selalu dibangun dengan jendela karena dengan begitu, anak dapat melihat keluar menembus dinding untuk memandang lebih luas lagi wawasan-wawasan yang berhamburan di luar sekolah.

Saya adalah remaja usia 22 tahun (anggap saja remaja karena belum dewasa) yang diberi kesempatan untuk menemani anak-anak sekolah dasar untuk belajar Bahasa Inggris. Sebagai akibat dari diharuskannya mengikuti budaya yang dikembangkan, saya menjadi lebih sering menyuapi anak daripada membiarkan mereka mencari makanan sendiri. Namun sesekali, saya bertanggung jawab penuh untuk menyisipkan hal lain yang sesungguhnya tidak sesuai dengan budaya yang ada. Misalnya memberikan gambaran teladan-teladan kehidupan sehari-hari melalui pemutaran kisah dan dongeng. Kisah-kisah teladan yang biasanya disajikan ke dalam soal-soal ujian tidak meninggalkan efek apapun bagi anak. Karena anak sama sekali tidak menghayati soal-soal ujian tersebut sebagai bagian dari proses kehidupan sehari-hari, anak cenderung menghayati soal itu sebagai tugas sekolah yang harus diselesaikan dengan memilih jawaban yang benar. Suatu pengajaran tentang keteladanan akan berbeda jika anak bisa mensarikan suatu teladan dari menonton atau mendengarkan dongeng. karena si anak mampu melihat mendengar dan kemudian menghayati isi dongeng yang disajikan. Ini yang saya dilakukan di sela-sela proses menyuapi ilmu pengetahuan yang lain.

Di antara guru yang lain, saya adalah satu-satunya pengajar yang tidak pernah pusing membuat perangkat-perangkat pembelajaran formal yang harus dikerjakan oleh guru untuk kemudian diperiksa oleh Dinas Pendidikan di kecamatan maupun di Kabupaten. Saya adalah satu-satunya guru yang tidak memikirkan jenjang karir keguruan. Jika yang lain mendapatkan gelar GTT, Honorer, GTT K2, PNS atau gelar-gelar yang lain, saya adalah satu-satunya guru yang tidak menyandang gelar-gelar itu. Karena itulah, saya cukup fokus berbelanja bahan-bahan belajar untuk anak. 

Saya yang sedang sendirian ini tidak mempunyai cukup kuasa untuk mengubah budaya. Tapi saya masih bermimpi untuk menyisipkan hal-hal yang meskipun tidak sesuai budaya akan tetapi sesuai dengan kebutuhan anak. Saya bermimpi dapat membangun ruang-ruang bagi anak untuk dapat mengeksplorasi kemampuan mereka sendiri. Misalnya dengan membuat ruang baca yang nyaman dan menarik bagi anak, membuatkan fasilitas untuk anak bermain dan mengolah diri, membuatkan fasilitas audiovisual yang lebih besar sehingga dapat menampung lebih banyak anak untuk melihat dongeng dan kisah-kisah yang lain. Saya sangat yakin bahwa budaya-budaya baik untuk menuju pada kemandirian generasi harus dipersiapkan sedini mungkin, karena seorang anak tidak dengan sendirinya suka membaca ketika ia beranjak dewasa, anak tidak dengan sendirinya mengetahui teladan setelah ia dewasa, anak tidak dengan sendirinya mempunyai ketertarikan untuk belajar setelah ia terlanjur dewasa. Bahwa penting bagi para pendidik di masa-masa emas ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk menanamkan hal-hal baik.

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.