Header Ads

Breaking News
recent

Namanya Farhan


Aku melihat tawanya begitu lepas hari ini. Perlahan kudekati dan kulihat goresan pensil di buku tulisnya.

“Sudah selesai Farhan Nulisnya?” tanyaku basa-basi

Kemudian dia beranjak dari posisi tawa yang tidak biasa kulihat tadi, dia mendadak murung serta menjawab pertanyaanku,

“Belum bu,” ucapnya lirih

Ia lalu menundukkan pandangannya ke arah buku tulis dan ia mulai kembali menyalin kumpulan-kumpulan kata dalam Bahasa Inggris yang kutulis di papan tulis. Sembari menulis aku mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya, bermaksud agar mendapatkan informasi tentang beberapa hal yang cukup membuatku penasaran. 

“Farhan sudah bisa membaca?” tanyaku lagi sambil memperhatikan caranya menyalin. 

Ia kemudian tersipu malu sambil menjawab, “belum bu”

Mendengar jawaban ini aku terhenyak sejenak, sudah kuduga dalam setiap pertemuan Farhan tidak pernah menyelesaikan tugas menulisnya. Bukan karena tidak ingin tetapi ia memang belum bisa melakukannya. Berbeda dengan teman-teman lain yang sama-sama duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar ini. Farhan harus mengeluarkan tenaga lebih banyak dibanding teman-temannya untuk menyelesaikan tugas menyalin ini. ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk melihat satu per satu huruf di papan tulis lalu menyalinnya di buku. 

Namanya Farhan, aku mendengar banyak tentangnya dari beberapa guru di sekolah ini. Tentang ia yang memiliki kepribadian yang berbeda dari anak-anak lain seusianya juga tentang beberapa ketidakmampuannya melaksanakan tugas dari guru di sekolah. Kerap kali para guru menganggap bahwa ia adalah anak yang bandel dan susah diatur. Lebih dari itu, ia dianggap mengalami keterbelakangan mental. Mendengar cerita-cerita itu, aku mengangguk, aku mengangguk bukan sebagai tanda persetujuanku atas penilaian para guru terhadap seorang anak yang dua gigi depannya tak kunjung tumbuh ini. Aku mengangguk ragu dan dengan penuh rasa penasaran apakah memang seperti itu adanya?
Setelah hampir satu semester menemani siswa blajar Bahasa Inggris, tingkah laku Farhan memang paling menyita perhatianku. Lalu, kulanjutkan pendekatanku terhadap Farhan sembari mendikte huruf per huruf yang harus ia salin.

“Farhan kalau di rumah belajar sama siapa?” tanyaku sambil menunjuk huruf “a” yang ia tulis menjadi huruf “o”

“Ndak ada bu,” jawabnya singkat

“Farhan mau belajar sama bu guru?” tanyaku lagi

Ia hanya mengangguk, entah sebagai bentuk keraguan atau memang setuju untuk belajar bersamaku. Aku memintanya datang ke pendopo tempatku bekerja setiap jam 2 siang untuk belajar mengeja meski hanya 10 sampai dengan 20 kata saja setiap harinya. Aku berharap bahwa anggukan yang ia suguhkan adalah bentuk persetujuannya untuk datang dan belajar bersamaku nanti.

Sesaat sebelum kelas berakhir, para siswa memintaku untuk memberikan kelas menggambar bebas. Aku meniyakan permintaan mereka, namun kali ini tema menggambar harus aku tentukan. Aku meminta para siswa untuk menggambar hewan karena vocabularies (kosa kata dalam Bahasa Inggris) yang kita pelajari hari ini adalah tentang hewan. Setelah perintah itu muncul dari mulutku tidak serta merta para siswa sepakat melakukannya. Beberapa dari mereka merengek dan meminta agar kelas menggambar hari ini bebas dan tidak ditentukan berdasarkan tema. Sebagain yang lain mengaku kesulitan untuk menggambar seekor hewan karena bentuknya yang rumit. 

Tanpa pikir panjang, aku tidak mengabulkan permintaan mereka. Pilihan untuk menggambar hewan tetap harus dilakukan. Kekhawatiran-kekhawatiran siswa yang lain tidak kutemukan dalam raut wajah Farhan, ia begitu santai menanggapi perintah menggambar hewan seperti yang kupinta. Ia dengan cekatan segera mengambil bukunya dan bersiap untuk menggambar. 
Dari kejauhan kulihat seorang anak menghampirinya sambil membisikkan sesuatu kepada Farhan. Aku begitu penasaran sehingga aku beranjak untuk mendekat ke tempat duduk Farhan. Ternyata teman yang menghampirinya memintanya untuk menggambarkan sebuah kepala sapi, bagian terumit dari bentuk seekor sapi. Sambil tersenyum aku mengatakan,

“Lho masak ya minta digambarkan sama Farhan? Ya gambar sendiri to biar bu guru tahu gambar kalian sebagus apa"

Si anak yang meminta tolong tadi spontan menjawab,

“karena Farhan bisa gambar apa aja bu, bentuk hewan apapun pasti bisa ia gambar dengan sempurna” timpal salah seorang siswa yang duduk di belakang Farhan. 

Aku ingin memastikan bahwa apa yang teman-temannya katakan adalah benar. Ia dikenal sebagai jago menggambar di kelasnya. Selang setengah jam aku melihat satu per satu gambar milik siswa dan yag paling terakhir aku melihat gambar milik Farhan yang membuat hatiku dipenuhi rasa yang amat bahagia. Sementara yang lain menggambar kupu-kupu dan kura-kura, imajinasi Farhan melesat jauh dari apa yang kubayangkan. Ia menggambar sebuah rusa dengan bentuk tanduk yang sangat bagus dan seimbang.

Seketika itu keraguanku terhadap Farhan dan cerita-cerita tentang Farhan kuhempaskan dengan sempurna. Kemudian hari ini dari kelas menggambar aku mengubah keraguanku menjadi sebuah keyakinan bahwa Farhan adalah satu sosok yang diberi keistimewaan oleh Tuhan. Ia adalah berlian yang kilaunya belum tampak tertimbun batuan kerikil. Orang-orang terdekat Farhan berkewajiban untuk mengantarkan Farhan menemukan kilaunya itu dan ia harus terlihat paling berkilau di antara berlian-berlian yang lain. 

Namanya Farhan, aku hari ini belajar banyak darinya. Aku belajar tentang ketidak layakan sebuah budaya justifikasi yang tidak berdasar dan cenderung pada hal negatif untuk terus dipelihara. Aku juga belajar tentang menjadi seseorang yang lebih peka, tidak hanya melihat permukaannya saja tapi menyelaminya lebih dalam. Dari Farhan aku belajar bahwa menjadi guru bukan hanya soal memberi tahu kemudian menguji dengan memberikan tugas, tetapi lebih dari itu menjadi seorang guru adalah soal membersamai para siswa untuk menemukan kecenderungan diri mereka. 

1 komentar:

  1. Semangat untuk mengantarkan Generasi Emas Dolokgede menuju kemandirian. Keep spirit ya Bu Guru :)

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.