Header Ads

Breaking News
recent

Cara Kami Berdamai dengan Permasalahan


Setiap orang memilih caranya masing-masing untuk menenangkan hati dan pikiran. Dalam perjalanan yang tidak selalu mulus dan lurus ini, ada beberapa tanjakan serta tikungan yang membutuhkan lebih banyak tenaga, pikiran dan juga "makan hati" untuk dapat melewatinya. Tidak terkecuali saya yang di mata banyak orang --terutama mereka yang tidak terlalu dekat dengan saya-- menilai bahwa saya terlihat selalu periang dan jarang galau. Saya memang mengamini anggapan baik mereka terhadap saya, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa menjumpai permasalahan hidup adalah suatu keniscayaan bagi setiap manusia. 

Menghadapi masalah atau lari dari masalah adalah sebuah pilihan. Mereka yang memilih lari dari masalah berarti telah melewatkan satu tahap pendewasaan. Karena dengan menghadapi permasalahan, menganalisanya, menemukan solusi-solusi hingga pemecahan permasalahan merupakan tali penyambung seseorang menuju kedewasaan. Saya sendiri kerap mengalaminya, berada di tengah-tengah persimpangan antara berlari atau menghadapi. Kebimbangan inilah yang justru lebih banyak menguras energi, membuang banyak waktu untuk merenung dan tidak melakukan hal-hal produktif sehingga seluruh energi, pikiran serta waktunya terbuang sia-sia. 

Sejak di bangku kuliah, saya serta beberapa teman seperjuangan mempunyai kebiasaan unik yang mungkin bagi kalangan kami adalah suatu hal yang memang biasa dilakukan. Kami meyakini bahwa "galau" itu obatnya yaa dengan berdo'a serta ditambah lagi dengan mendo'akan, terutama mendo'akan para waliyullah yang berjasa besar bagi kemaslahatan umat. Tempat kuliah yang tidak jauh dari "pesarean" salah satu dari Walisongo membuat kita sering berkunjung kesana saat sedang dilanda gundah atas masalah apapun. Misalnya tentang tugas kuliah, tentang kondisi saku yang mulai menipis, atau bahkan tentang mantan yang mulai berpaling (Hahahaha). Kami mendapatkan kedamaian hati ketika duduk bersila di samping pesarean dan berdo'a untuk kedamaian beliau Sang Waliyullah (Sunan Ampel) agar beliau di tempatkan di tempat terbaik di sisi Nya.

Kami tidak datang dengan mengadu bahwa kami sedang mempunyai banyak masalah. Dengan duduk bersila dan berdo'a saja, sesaat terasa beban yang sedang kami tanggung tidak lagi berat. Energi positif yang kami dapatkan ketika memasuki lingkungan pesarean seolah telah cukup memperkuat pundak ini. Sudah dua tahun sejak diwisuda, jarak antar teman yang tak lagi dekat, juga waktu yang tak selalu luang, membuat kita rindu pada apa yang biasa kita lakukan bersama ketika sedang dilanda kebimbangan. Untuk membayar rindu itu, saya bersama salah satu teman semasa kuliah yang berdomisili di Madiun memutuskan untuk menempuh perjalanan dari masing-masing daerah menuju kota santri (Jombang).

Jombang menjadi tempat pilihan bagi kami untuk bertemu melepas rindu terhadap satu sama lain dan juga terhadap kebiasaan yang kerap kami lakukan di masa kuliah dulu. Karena sama-sama tidak mempunyai banyak waktu luang, satu hari rasanya cukup bagi kami untuk membayar rindu pada ratusan hari sebelumnya. Sejak pertemuan kami pada sabtu siang, kami berniat memaksimalkan waktu untuk berziarah, mendo'akan dan berdzikir di pesarean para wali yang berada di wilayah Jombang-Mojokerto. Awal mulanya kami hanya tahu bahwa di wilayah sana Waliyullah yang paling tua adalah Syaikh Jumadil Kubro atau yang oleh masyarakat Troloyo Kabupaten Mojokerto kerap disapa Mbah Jum. Kami memutuskan untuk berziarah kesana terlebih dahulu dan singgah sebentar di Segaran (tempat penyambutan tamu kerajaan Majapahit). 

Dari Segaran kami mendapatkan informasi dari salah satu teman yang berdomisili di sekitar pesarean bahwa ada pesarean waliyullah yang lebih tua dari Mbah Jum yaitu Syaikh Sayyid Ahmad. Tanpa perlu pikir panjang kami memutuskan untuk berziarah juga kesana. Letaknya tidak terlalu jauh, dari Troloyo menuju ke Pesarean Sayyid Ahmad hanya kami tempuh selama 15 menit. Sepulang dari sana hari mulai malam sehingga kami beranjak dari Pesarean menuju pusat kota Jombang untuk mencari tempat bermalam. Tidak terlalu pusing, jaringan pertemanan kami di Jombang membuat kami kuwalahan harus memilih tidur di tempat siapa untuk semalam saja. Kami memilih bermalam di rumah teman dekat alun-alun kota. Selain dekat dengan keramaian, ia juga dekat dengan pesarean Gus Dur yang merupakan tujuan ziarah kami selanjutnya.

Minggu pagi selepas sholat Shubuh kami bersiap menuju makam Gus Dur, namun karena terhalang aktivitas Car Free Day dan keterbatasan pengetahuan kami terhadap jalanan di Jombang membut perjalanan kita terasa cukup jauh. Sehingga kami baru tiba di pesarean pada pukul 07.00. Setibanya di sana kami begitu kagum terhadap Presiden Keempat Indonesia ini yang sejak pagi-pagi sekali sudah puluhan orang yang saling berdatangan berziarah dan mendo'akan beliau. Kami bergabung dalam kerumunan peziarah tersebut dan bersama-sama berdo'a untuk sosok kharismatik pembela pluralisme ini. 

Setelah berdo'a di pesarean, kami berlama-lama melihat lingkungan sekitar pesarean. Barisan toko oleh-oleh dan bangunan megah Museum Nasional Hasyim Asyari membuat kami cukup betah berjalan di sekitar. Ada banyak aktivitas yang dilakukan di sekitaran sana, mulai dari berfoto ria, berolah raga, berkuliner dan beberapa aktivitas lain. Kami dikagetkan dengan teriakan satu orang santri dari pesantren Tebuireng.

"Mbak boleh kenalan mbak, mbak boleh kenalanmbak, mbak boleh kenalan mbak", katanya sambil menyodorkan tangannya, tanda mengajak kami berjabat tangan. 

Karena kami hanya berdua dan tidak melihat adanya ustadz pembimbing di sekitar sana, kami kaget sekaligus takut hingga kami berlarian menjauh dari sekumpulan orang yang sedng berlatih ini. Setelah cukup jauh dari kerumunan para santri tersebut, kami memperhatikan lagi apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan. Kami kemudian menduga bahwa orang-orang tersebut adalah sekumpulan orang yang memiliki kepribadian khusus, beberapa dari mereka sepertinya mengalami down syndrom, stress, atau jenis gangguan kejiawaan lainnya. Pesantren Tebuireng juga memberikan pendidikan khusus bagi mereka yang memiliki kepribadian tersebut. Karena masih terlalu awam, respon kami terhadap mereka memang kurang baik dan sesudahnya kami menyesali itu karena kami sadar seharusnya kami tidak berlari hingga terbirit-birit seperti itu.

Aneka cerita dalam satu hari perjalanan kami pada akhirnya membuat kami tertawa puas di ujung perjumpaan kami. Di perjalanan menuju terminal Kepuhsari Jombang kami saling menumpahkan tawa seolah tidak ada lagi kebimbangan. Kami puas karena rindu kami terbayarkan. Kami juga mendapatkan kedamaian dari bimbangnya hati dan pikiran yang kami bawa dari lingkungan kami masing-masing. Berangkatnya Bus Bagong tujuan Jombang-Tuban menjadi akhir perjumpaan kita di episode ini. Semoga kami masih bertemu pada episode-episode selanjutnya dengan cerita yang lebih bahagia dan lebih bermanfaat dari ini. 

4 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.